Judul: Ayah
Penulis: Andrea
Hirata
Penerbit: Bentang
Pustaka
Terbit: Mei 2015
Tebal: 412 halaman
plus-plus!
Tidak
semua anak memiliki kesempatan mengurus orang tuanya!
SultanSulaiman.Id, Mengurus orang tua, saat mereka memasuki
usia senja adalah anugerah yang tak dapat dirasai setiap anak. Lalu sebuah
pertanyaan menjadi renungan: mengapa hampir setiap anak yang bertumbuh, hingga
berkeluarga, akhirnya harus pergi? Meninggalkan wajah-wajah renta yang
berpendam lelah memeluk sepi…?
Di situ, dalam perenungan pertanyaan
itu, dadaku seperti ditusuk-tusuk. Ah! Kurangkai jawabanku sendiri: sebab sepi,
sunyi, dan segala yang berkarib dengan itu telah menjadi takdir setiap orang
tua. Demikiankah adanya?
Memang, sepertinya orang tua telah
mempersiapkan diri dengan segala kondisi. Dari merawat anak-anak, membekalinya,
memastikan segala bekalnya cukup, lalu bersiap melepaskan.
Menjadi orang tua muaranya melepaskan.
Melepaskan berarti melanjutkan mimpi, menyempurnakan pengasuhan. Sebab yang
ditanamnya dulu telah berbuah, kini direlakannya untuk membuahi. Seperti inilah
hidup, kita hanya akan melakoni pergantian peran yang selalu berulang…!
***
Kulalui
sungai yang berliku
Jalan
panjang sejauh pandang
Debur
ombak yang menerjang
Kukejar
bayangan sayap elang
Di
situlah kutemukan jejak-jejak untuk pulang
Ayahku,
kini aku telah datang
Ayahku,
lihatlah, aku sudah pulang
(Novel
Ayah-Andrea Hirata)
Membaca “Ayah” Andrea Hirata, saya
menemukan kembali Ikal yang hilang. Wangi Belitong, dengan debur ombaknya yang
mendebarkan, juga lukisan alam pulau timah itu membuatku lirih berucap: dia
telah kembali. Namun belum sepenuhnya kembali.
Mendapati Sabari dengan kesejatiannya
cintanya pada Marlena.
Sulit dimengerti, bagaimana lelaki legam
buruk rupa itu mampu mencintai sebening itu. Dan puisi-puisi terangkai merdu,
sebagai warisan digdaya dari ayahnya, terwariskan kepada anaknya: Zorro, si
Amiru yang pandai berkisah, lihai merangkai kata, seperti ayahnya yang jatuh
cinta pada pelajaran Bahasa Indonesia.
Wahai warna-warni
yang berkelebat
Tak sudikah singgah sebentar?
Hinggap di hatiku yang biru
Mengharu biru karena rindu
Tak sudikah singgah sebentar?
Hinggap di hatiku yang biru
Mengharu biru karena rindu
(Puisi ayah Sabari untuk Sabari pada saat
melihat kawanan burung Punai melintas menyerbu bakung)
Tapi tidak sepenuhnya kembali, kataku.
Meski berusaha sepenuh jiwa, namun saya merasakan dari beberapa rangkai adegan
dalam novel itu, hanya sebatas kata yang meliuk kehilangan bunyi. Kita
menikmati untaiannya, tapi tak merasai, berlalu begitu saja. Di sini, saya
percaya bahwa setiap penulis dalam menjejakkan kata-katanya mengalami proses
spiritual yang dahsyat. Ayah! Saya akui tidaklah sekuat Laskar Pelangi, Sang
Pemimpi, pula Edensor. Butuh perjuangan akbar bagi Andrea untuk menemukan
jiwanya, untuk mengulang kembali masterpiece-nya.
Saya curiga, mungkin karena ingin
mengulang kejayaan, novel ini seperti hendak bercerita ulang tentang Laskar
Pelangi. Untuk beberapa hal, saya berkesimpulan “Ayah” berusaha meniru novel
Andrea yang sebelumnya tenar. Ya! Ayah hadir sebagai beban, tak serenyah
pendahulunya.
Sebab itu, saya menemukan alur yang
tergarap kurang halus. Tentang pertemuan Marlena, Zorro dengan Sabari yang
tergelar begitu saja, tanpa merinci lebih lanjut bagaimana Ukun dan Tamat
menuntaskan pencariannya. Hanya berbekal selembar pesan yang dikirim lewat pos.
Sabari akhirnya menggantungkan mimpi, menanti hari pertemuan itu tiba. Mereka
bertemu, tapi tak sampai melelehkan air mata pembaca: saya. Ada pertanyaan lain
yang tidak terjawab: siapa ayah Zorro (Amiru) sesungguhnya?
Jelas tetap ada haru, ada perasaan yang
mengaduk-aduk, ada jenaka yang menguntai, semuanya mengalun satu. Saya
menggaris bawahi, entahlah. Saya melihat Andrea berusaha berbagi tentang:
cinta, benci, kehilangan, datang dan pergi adalah siklus biasa yang akan
dialami setiap manusia. Tak perlu terlalu lebay menghadapi semuanya. Andrea
mengajak pembaca belajar: merelakan.
Serupa Sabari yang menikmati pahitnya
cinta sepihak kepada gadis yang ditaksirnya sejak belia: Lena. Segala kegetiran
tetap harus direngkuh seperti kita menunggu purnama yang merona. Cinta untuk
segala situasi akan selalu buta.
Saya amat terganggu dengan deretan
komentar yang berjajar dari sampul, hingga berlembar-lembar, juga pajangan
Laskar Pelangi yang diterbitkan dalam banyak versi bahasa. Saya menilai, di
sini Andrea hendak jemawa, semacam ingin memegaskan kelas, kasta dirinya
sebagai penulis yang telah melewati tangga-tangga “kepamanan” yang lebih jauh.
Saya menjadi kurang simpati karena itu!
Aku adalah sungai
Aku adalah anak belibis
Aku adalah awan-awan sisik Januari
Tak ada, tak ada
Meski kau tenggelamkan aku di dasarmu
Tak ada bahagia yang dapat kau sembunyikan dariku
Aku adalah anak belibis
Aku adalah awan-awan sisik Januari
Tak ada, tak ada
Meski kau tenggelamkan aku di dasarmu
Tak ada bahagia yang dapat kau sembunyikan dariku
(Balasan
puisi Amiru (Zorro besar) kepada Sabari pada saat naik sepeda ke taman balai
kota)
***
Kita patut iri kepada Amiru yang bisa
menuntaskan pengabdian kepada ayahnya, menyempurnakan baktinya sebagai anak.
Akhirnya sampai juga pada: alangkah beruntungnya anak yang mendapat kesempatan
mengurus orang tuanya!
Kulalui sungai
yang berliku
Jalan panjang sejauh pandang
Debur ombak yang menerjang
Kukejar bayangan sayap elang
Di situlah kutemukan jejak-jejak untuk pulang
Ayahku, kini aku telah datang
Ayahku, lihatlah, aku sudah pulang
Jalan panjang sejauh pandang
Debur ombak yang menerjang
Kukejar bayangan sayap elang
Di situlah kutemukan jejak-jejak untuk pulang
Ayahku, kini aku telah datang
Ayahku, lihatlah, aku sudah pulang
(Puisi Zorro untuk Sabari pada saat mereka
bertemu kembali)
Sumber
bacaan:
Kak, saya penggemar tulisan Andrea Hirata. Membaca resensi ini jadi ingin membaca sendiri benarkah novel ini tak serenyah novel-novel pendahulunya? Tapi, apa pun itu, sudut pandang pembaca tetaplah elok ;)
BalasHapusKebetulan belum punya buku Ayah! nih, jadi penasaran. Apapun tema tentang Ayah selalu membuat sudut mata saya menghangat.
BalasHapusMakasih sudah menuliskan resensinya ya
kata temanku dulu andrea hirata terjebak pd laskar pelangi dan belitongnya, jd tulisan2 berikutnya gak jauh2 dr itu. tp menurutku karya beliau ttp keren dan inspiratif!
BalasHapusSepertinya sewaktu membaca novel Ayah ini, aku memang nggak dibuat se-terkesan sewaktu membaca Laskar Pelangi, tapi novel ini tetap inspiratif, cukup untuk bahan renungan terkait Ayah juga. Meski ada rasa penasaran yang nggak terjawab
BalasHapusKabarnya karya masterpiece itu emang sulit diulang Mas huhu, btw aku belum baca karya Andrea Hirata yg Ayah ini, sip masuk whistlist
BalasHapusPenasaran saya sama buku ini. Tapi belakangan ini saya sedang gak kuat baca buku yang agak tebal. Mungkin perlu ganti kacamata dulu
BalasHapusHihihi setuju deh novel Ayah tak sebagus laskar pelangi atau memang expectasi saya yang terlalu tinggi??
BalasHapussaya juga pas baca novel ini berasa ada yang mengganjal terutama bagaimana kedua sahabat Sabari berhasil menemukan marlena. Trus bagaimana Lena bertemu dengan suami terakhirnya juga tidak diceritakan.
BalasHapuskangen baca novel lagi dan karya Andrea Hirata ini pengen banget tapi saat ini kok lebih memilih bacaan yang ringan aja haha
BalasHapusSaya baru baca Tetralogi Laskar Pelangi saja. Karya Andrea setelah Laskar Pelangi belum minta baca lagi.... Mungkin Ayah bisa menjadi pilihan untuk agenda baca pekan ini
BalasHapus