![]() |
http://www.fotoblur.com |
Hidup
semakin sulit. Sulit bagi kita yang selalu peduli dengan naiknya harga beras,
cabe, tomat, popok, susu, dan kebutuhan harian lainnya. Jelas gajiku tak cukup,
dan dipastikan rekening tabungan kita jebol dengan melonjaknya harga-harga. Kau
dan aku mulai merasakan, setidaknya di bulan-bulan jelang akhir tahun seperti
ini. Simpanan tak akan cukup, kita harus
menambah jumlah pinjaman untuk menutupi
kebutuhan harian yang mencekik.
Embusan
napas
kita semakin berat saja, aku pulang jelang senja mendapati tatapanmu yang sayu.
Juga senyum getir yang selalu saja menegaskan jika hidup kita benar-benar
berkabung. Aku memelukmu, lalu bercanda-gurau dengan anak kita yang sebentar
lagi memasuki usia sekolah. Oh...! Kita
telah melewati masa-masa meminta itu dan sekarang menjadi orang tua. Orang tua?
Berarti masa memberi tiada henti telah kita mulai.
“Ayah...Beras
sudah habis. Popoknya Aco juga sudah habis!”
Aku tak
mengubris, bergegas mengganti pakaian kerja. Duduk beku di ruang tamu.
Sementara kau masih memburu kepastian tentang kapan isi dapur terisi. Saat-saat
seperti ini, jelas akan teringat segala piutang yang tak juga kunjung dibayarkan.
Betapa aku mulai menyerapahi mereka satu per satu. Ah...!
“Apa tidak ada
kabar dari chi Mei?”
Sunyi
melengking. Aku masih memanjangkan beku sembari menikmati embusan napas yang
sesak. Mengapa harus serumit ini. Hitungan kasarku, piutang itu, uang-uang kita
yang di tangan orang lain
lebih dari cukup mengeluarkan kita dari keruwetan ini. Aku meraih telepon genggang.
Mengetik pesan, mengirimkannya pada pemilik nomor yang beberapa hari lalu mengiba bantuan.
“Assalamulaikum.
Maaf, jika sudah ada kelebihan rezeki,
mungkin pinjaman lalu dah bisa dilunasi Chi...!”
Kenapa juga
harus meminta maaf? Bukannya aku tak salah. Menagih hak yang seharusnya telah
ditunaikan. Inilah model komunikasi yang terbilang aneh, merajakan orang-orang
yang sebenarnya harus lebih sadar meminta maaf atas kelalaiannya yang mungkin disengaja.
“Aduh...Maaf
Pak, iya sudah ada. Saya lupa...besok ya di kantor...!”
Aha...!
Setidaknya cukup untuk persedian dapur, beli popok, dan susu. Cemas terurai
sesaat.
***
Berutang menjadi
jalan instan untuk mendapatkan uang. Berbekal sedikit keberanian, dengan pola yang diusahakan membuat
iba, seseorang bisa dengan
mudah membuat kantongnya berisi. Ya, dia yang baru saja kukirimkan pesan,
datang di tengah malam buta dengan muka lusuh lalu menyampaikan maksud. Anaknya
sakit dan butuh uang untuk berobat. Meski pas-pasan, aku dan istri merelakan
simpanan berpindah ke tangannya.
“Jangan terlalu mudah memberi belas kasih. Kau akan
celaka...!”
Masih lekang
ucapan itu. Keluar dari mulut om Anca
yang pengusaha. Dia memang kerap menceramahiku
soal uang. Baginya, setiap kita bisa bermurah hati pada siapa saja, asal jangan
soal uang. Jika seseorang datang hendak meminta pinjaman, sebaiknya ditolak.
“Kau punya istri yang tidak bekerja. Anakmu itu, kau harus pastikan segala kebutuhan tumbuh
kembangnya
terpenuhi. Orang rantau seperti kita harus pintar mengelola uang.
Berhenti
memberikan pinjaman. Jika tidak, masolakko tu Nure.”
Rumah mungil ini
sudah dipayungi malam, adzan magrib berkumandang, tapi aku masih setia
berlama-lama duduk membisu.
“Ayah tidak ke
masjid?”
Oh...! Suara serakmu mengembalikanku pada kondisi
normal. Aku bergegas, meninggalkan kerumitan itu, meski sejenak.
“Ayah...! Kakak
ikut…”
Bocahku, berlari kecil, mengekor di belakangku. Kami ke masjid.
***
Semestinya,
uang dari chi Mei sudah dibayarkan tadi
pagi. Saat kami berpapasan di kantor.
“Oh…Iya,
sebentar ya Pak…!”
Jawabnya
terjaga. Lalu berlalu tergesa. Aku sangat berharap tingkah itu bukan sekadar
basa-basi. Hingga waktu pulang kantor tiba, perempuan modis itu tak muncul,
mungkin dia “diculik.”
Sampai
jelang malam, yang dijanjikannya belum tunai. Ditelepon tidak diangkat, sms
tidak dibalas. Beberapa saat, nomor telepon itu sudah di luar jangkauan.
Keadaan semakin pailit saja. Lagi-lagi kita mengelus dada, menikmati kondisi
tak bersahabat itu. Harus bagaimana lagi?
“Cincin
ini bisa kita gadaikan, Yah…!”
Aku
menatapmu. Melempar isyarat tak setuju. Tatapanmu memelas, meminta restu. Ah!
Kenapa harus meminta restu, bukankah itu maharmu, yang segala hal berkait
dengannya adalah hakmu.
Tapi,
mas kawin seumpama pertahanan terakhir. Menggadaikan atau menjualnya semisal
justifikasi jika kepala rumah tangga sudah tak berdaya. Siri’na tau ogi’e, serupa
ditampar saja. Bagaimana?
“Tidak
apa-apa Yah…! Digadaikan saja. Insyaallah bisa ditebus lagi kok…!”
Aku
bergeming. Berusaha menenangkan debur di dadaku. Sembilu menyayat ulu hati.
Sepasang mata beningmu merapuh, dan aku tak kuasa menatapnya.
Dari
ruang tamu, terdengar cekikikan renyah seorang bocah. Suara itu sebenarnya cukup
mengusir segala penat. Pula menjadi penegas jika dia adalah titipan yang tak
boleh disiakan.
“Ayah
akan cari pekerjaan tambahan. Atau kita bisa memulai dengan usaha
kecil-kecilan!”
***
Hasil
gadai mas kawin cukup buat modal usaha. Kau mulai sibuk dengan list dagangan dan menjajakannya dengan
ragam jurus. Tas, sepatu, kaos kaki, penganan, apa saja yang bisa dijual,
dengan modal miring tapi untung lumayan. Menjual makanan ringan yang digemari
anak-anak. Di arisan kompleks dan arisan keluarga, jualan online, kau terlihat amat lincah, kadang tersenyum simpul bahkan
rekah jika jualan mulai ada pemesan. Aku siap-sedia jadi kurir mengantar
pesanan.
Kau
dan aku belajar melakoni sesuatu yang memang tak pernah diajarkan di bangku
sekolah. Menjadi pedagang, hanya butuh hitungan sederhana. Kita berbalas
pandang, lalu mengucapkan kalimat itu bersama-sama.
“Tak
butuh matematika rumit untuk memulai berdagang. Beli barang seribu, orang yang
paling bodoh berhitung sekalipun tahu berapa harga yang harus dia patok agar
mendapat untung… Jual seribu dua ratus, dua ratus untungmu!”
Om
Anca bagi kita adalah guru. Padanya kita bertanya, dan mulai belajar tentang
pelajaran yang tak pernah diajarkan itu: Pelajaran Kehidupan. Hidup mudah,
bertahan yang susah. Cakap bertahan hidup tak purna didapatkan di bangku sekolah
atau kuliah. Cemerlang prestasi belajar bukan jaminan gemilang pelajaran
kehidupannya.
“Ayah…Ini
ada yang order. Lumayan banyak. Akan dibayar pas barangnya sudah di tangan!”
Aku
bergegas. Menyusuri liku-liku jalan kota berjuluk Serambi Madinah. Masuk di
kawasan perumahan. Menelepon pemesan.
Aku
memasuki rumah setelah mengucap salam, setelah mengecek bahwa rumah yang kutuju
tepat. Pramuwisma bergegas, memanggil nyonya sang pemesan. Pertemuan yang tak
diharapkan. Chi Mei. Perempuan matang
itu tampak canggung. Aku menyerahkan pesanan. Mengambil bayaran. Mengucap kata
pamit lalu bergegas. Apakah dia lupa
dengan pinjamannya?!
Entah.
Meski sering bertemu pandang bahkan berpapasan di kantor, chi Mei sepertinya
amnesia. Pertemuan tadi tak mengingatkan utang, baginya biasa saja. Aku selalu
memaksa diri melupakan, berusaha ikhlas. Bagaimana harus mengingatkan “sesuatu”
kepada orang yang “mungkin” pura-pura lupa?! Aduh, aku menyalakan motor melaju
pelan membelah malam. Tapi Tuhan tak pernah lupa!(*)
*Anggota Forum
Lingkar Pena (FLP). Menulis puisi, esai, siaran pers, opini, berita, dll.,
sejak bergabung dengan FLP tahun 2005.
0 Comments
Posting Komentar